Banda Aceh, 25/11 (Antara) - Majelis Adat Aceh (MAA) terus menggelar "muedrah" (dialog
partisipatif) guna mencari masukan dalam menentukan format wali nanggroe, sebelum dikukuhkan sebagai
lembaga adat di Kota Langsa, 25-26 November 2013.
Panitia dialog Ibrahim Daud saat dihubungi dari Banda Aceh, Senin menyatakan, sebagai
pembicara pada dialog tersebut Wakil Ketua MAA A Raman Kaoy, Tim Perumus Pengukuhan Wali Nanggroe Aceh
Yusri dan Rahman, serta Staf Khusus Wali Nanggroe Aceh Yahya Muaz.
Dialog tersebut juga dihadiri seratusan orang utusan dari empat kabupaten, yakni Pidie, Aceh
Utara, Aceh Timur, dan Kota Langsa.
Wali Kota Langsa Usman Abdullah saat memberikan sambutan mengatakan, wali nanggroe merupakan
lembaga resmi seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Begitu juga Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe, karena wali nanggroe
menjadi perekat masyarakat Aceh yang plural, yang sempat tercabik-cabik akibat konfik berkepanjangan.
"Selama ini ada di antara masyarakat yang menolaknya karena mereka belum tahu dan paham tentang
perlunya wali nanggroe," katanya.
Lebih lanjut dia menyebutkan, wali nanggroe tersebut bukanlah lembaga politik, melainkan
lembaga kepemimpinan adat.
"Lembaga ini bersifat personal dan independen, tidak mungkin melampaui kewenangan gubernur,"
ujar Usman.
Ibrahim Daud yang juga Ketua MAA menjelaskan, pertemuan itu bertujuan mendapatkan masukan
terkait prosesi, tanda kebesaran dan kehormatan serta kapan wali nanggroe dikukuhkan.
"Melalui pertemuan ini, kita akan mendapat banyak masukkan bagaimana prosesi-prosesi dan
lambang adat yang dapat digunakan untuk pengukuhan wali nanggroe," ujarnya.
Lewat muedrah tersebut diharapkan seluruh masyarakat Aceh mendapat pengetahuan yang
menyeluruh tentang wali nanggroe, karena manfaatnya sangat penting bagi kemajuan Aceh.
"Keberadaan lembaga ini sebagai usaha menggali kembali peradaban Aceh yang bermantabat demi
terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Aceh," sebut Yahya Muaz.
Dalam pertemuan, para peserta dari masing-masing kabupaten memberikan informasi dan
pemahamannya seputar prosesi penabalan, tanda-tanda kebesaran dan tanda-tanda kehormatan wali
nanggroe.
Acara diawali dengan pembacaan ayat suci Alquran, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan
melantunkan shalawat badar secara bersama-sama.
Sebelum berlangsung di Kota Langsa, pertemuan serupa telah dilaksanakan di Sabang dan
Meulaboh (Kabupaten Aceh Barat) yang melibatkan masyarakat dari Kabupaten Bener Meriah, Aceh Selatan,
Nagan Raya, dan Sabang serta wilayah selatan dan tenggara Aceh.
Pertemuan berikutnya akan digelar di Kabupaten Aceh Tengah, Simeulue dan Kutacane, Kabupaten
partisipatif) guna mencari masukan dalam menentukan format wali nanggroe, sebelum dikukuhkan sebagai
lembaga adat di Kota Langsa, 25-26 November 2013.
Panitia dialog Ibrahim Daud saat dihubungi dari Banda Aceh, Senin menyatakan, sebagai
pembicara pada dialog tersebut Wakil Ketua MAA A Raman Kaoy, Tim Perumus Pengukuhan Wali Nanggroe Aceh
Yusri dan Rahman, serta Staf Khusus Wali Nanggroe Aceh Yahya Muaz.
Dialog tersebut juga dihadiri seratusan orang utusan dari empat kabupaten, yakni Pidie, Aceh
Utara, Aceh Timur, dan Kota Langsa.
Wali Kota Langsa Usman Abdullah saat memberikan sambutan mengatakan, wali nanggroe merupakan
lembaga resmi seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Begitu juga Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe, karena wali nanggroe
menjadi perekat masyarakat Aceh yang plural, yang sempat tercabik-cabik akibat konfik berkepanjangan.
"Selama ini ada di antara masyarakat yang menolaknya karena mereka belum tahu dan paham tentang
perlunya wali nanggroe," katanya.
Lebih lanjut dia menyebutkan, wali nanggroe tersebut bukanlah lembaga politik, melainkan
lembaga kepemimpinan adat.
"Lembaga ini bersifat personal dan independen, tidak mungkin melampaui kewenangan gubernur,"
ujar Usman.
Ibrahim Daud yang juga Ketua MAA menjelaskan, pertemuan itu bertujuan mendapatkan masukan
terkait prosesi, tanda kebesaran dan kehormatan serta kapan wali nanggroe dikukuhkan.
"Melalui pertemuan ini, kita akan mendapat banyak masukkan bagaimana prosesi-prosesi dan
lambang adat yang dapat digunakan untuk pengukuhan wali nanggroe," ujarnya.
Lewat muedrah tersebut diharapkan seluruh masyarakat Aceh mendapat pengetahuan yang
menyeluruh tentang wali nanggroe, karena manfaatnya sangat penting bagi kemajuan Aceh.
"Keberadaan lembaga ini sebagai usaha menggali kembali peradaban Aceh yang bermantabat demi
terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Aceh," sebut Yahya Muaz.
Dalam pertemuan, para peserta dari masing-masing kabupaten memberikan informasi dan
pemahamannya seputar prosesi penabalan, tanda-tanda kebesaran dan tanda-tanda kehormatan wali
nanggroe.
Acara diawali dengan pembacaan ayat suci Alquran, menyanyikan lagu Indonesia Raya dan
melantunkan shalawat badar secara bersama-sama.
Sebelum berlangsung di Kota Langsa, pertemuan serupa telah dilaksanakan di Sabang dan
Meulaboh (Kabupaten Aceh Barat) yang melibatkan masyarakat dari Kabupaten Bener Meriah, Aceh Selatan,
Nagan Raya, dan Sabang serta wilayah selatan dan tenggara Aceh.
Pertemuan berikutnya akan digelar di Kabupaten Aceh Tengah, Simeulue dan Kutacane, Kabupaten
Aceh Tenggara.