Banda Aceh, 16/12 (Antara) - Suara Azan mengumandang, bukan pertanda mulai masuknya waktu shalat, tapi sebagai tanda dimulainya prosesi pengukuhan Malik Mahmud Al-Haytar sebagai Wali Nanggroe Aceh ke-9, membuat suasana hening dalam ruang utama gedung DPR Aceh itu.
Lagu Indonesia Raya juga memecahkan keheningan dalam gedung tak kala pambawa acara mengumumkan dimulainya pengukuhan Wali Nanggroe Malik Mahmud yang dihadiri ribuan orang di komplek DPR Aceh, sekitar pukul 09.00 WIB, Senin.
Beberapa saat kemudian, Malik Mahmud Al-Haytar yang menggunakan pakaian adat khas Aceh turun dari atas mimbar utama menuju sebuah meja untuk menandatangani "amanat" dari pengukuhan dirinya sebagai Wali Nanggroe Aceh ke-9.
Sementara Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah berdiri di depan sebagai saksi dalam pengukuhan Malik Mahmud Al-Haytar sebagai Wali Nanggroe Aceh.
Dari luar gedung, ribuan orang tampak khusuk menyaksikan prosesi pengukuhan Wali Nanggroe meski hanya bisa menyaksikannya lewat televisi yang dipancarkan secara langsung TVRI stasiun Banda Aceh.
Sedangkan di luar komplek gedung legislatif, belasan ribu laki-laki dan perempuan tampak juga rela berdiri di atas ruas jalan raya dengan kondisi cuaca panas hanya ingin menyaksikan prosesi pengukuhan Wali Nanggroe yang diharapkan mampu membawa kesejahteraan, dan perdamaian bagi masyarakat Aceh.
"Kami berharap dengan adanya Wali Nanggroe, maka masyarakat akan hidup lebih baik dan bisa sejahtera. Aceh jangan lagi konflik, kepedihan dan kesengsaraan akibat konflik masih kami rasakan," kata Tgk Hamdani (50), warga Bireuen.
Sementara itu, Ny Idawati juga berharap agar Aceh kedepan tidak lagi bergelut dengan situasi ketidakpastian dari berbagai aspek, khususnya masalah keamanan harus benar-benar bisa mewujudkan daerah ini kondusif.
"Sebagai seorang ibu, kami berharap situasi Aceh tetap damai, aman dan sejahtera sehingga tidak lagi adanya rasa was-was. Pilunya hati ketika konflik lalu jangan sampai terulang kembali dimasa mendatang. Keberadaan Wali Nanggroe harus membuat Aceh damai, sejahtera," kata wanita asal Calang, Aceh Jaya.
Revitalisasi peradaban
Sementara itu, dalam sambutan pertamanya, Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haytar menyatakan perlunya melakukan revitalisasi seluruh peradaban Aceh dan menjadikannya sebagai bagian dari peradanan Indonesia dan dunia.
"Saya memandang kita perlu merevitalisasi seluruh pranata peradaban Aceh dan menjadikannya sebagai bagian dari peradaban Indonesia dan dunia," kata malik Mahmud di gedung DPRA.
Sebab, menurut Wali Nanggroe tidak ada artinya status kekhususan dan keistimewaan Aceh jika pranata peradaban di provinsi ini tidak lagi berfungsi sebagai pilar pembangunan Aceh.
"Akan hilang maknanya kebebasan, perdamaian dan kemartaban serta peradaban sebuah bangsa, jika kita tidak saling percaya dan menghormati atas nilai-nilai perdaban kita serta menjadikannya sebagai landasan dan ciri-ciri khas tamadun Aceh," kata mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang lama berdomisili di luar negeri itu.
Malik Mahmud juga menyebutkan tiga tantangan besar kedepan dalam mengurangi kesenjangan sosial, ketidakadilan ekonomi, dan kesenjangan antara wilayah yang perlu segera ditemukan resolusinya dalam membangun Aceh secara utuh berbasiskan nila-nilai peradaban daerah ini.
Pertama, bagaimana semua pihak berdaya menghadapi ancaman global atas perdamaian dunia yang berdampak pada keberlanjutan perdamaian Aceh.
Kedua, bagaimana bisa merespon ancaman liberalisasi kebudayaan. Dan ketiga yakni bagaimana juga harus merespon ancaman sekaligus meraih peluang leberalisasi ekonomi yang ditandai dengan lonjakan harga pangan dan energi yang terus meningkat secara cepat.
"Dalam pandangan saya, perlunya kita melakukan terobosan dan atau perubahan secara fundamental yang dimulai dari bangku sekolah/madrasah sejak usia dini hingga perguruan tinggi atau dalam bahasa lainnya kita perlu melakukan revolusi pendidikan.Sejalan dengan proses transformasi pengetahuan yang saat ini sedang berjalan di Aceh," katanya menjelaskan.
Berdasarkan pandangannya, Malik Mahmud mengatakan perlunya revolusi pendidikan itu karena pada hakekatnya pendidikan itu adalah membebaskan seseorang untuk berinovasi dan berkreativitas sesuai dengan potensi atau keunggulan yang dimilikinya.
Kemudian, kata dia nantinya pendidikan tidak semata-mata untuk mempersiapkan seseorang menjadi pegawai pemerintah, melainkan anak-anak Aceh yang sejak usia dini sampai perguruan tinggi sudah dididik berdaya dalam menumbuhkan budaya inovasi kreatifitas dalam mengelola sumbertdaya alam.***1***
Pro dan kontra
Kendati demikian, pengukuhan Malik Mahmud Al-Haytar masih mengundang pro dan kontra baik di dalam masyarakat Aceh sendiri maupun antara DPRA, Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat (Mendagri).
Sikap sebagian elemen masyarakat Aceh seperti Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) menolak pengukuhan Wali Nanggroe.
Direktur YARA Safaruddin menilai DPRA dan Pemerintah Aceh telah melanggar empat aspek terkait dengan pengukuhan Wali Nanggroe Malek Mahmud Al-Haytar.
"Legislatif dan eksekutif Aceh mengabaikan 'Legal Drafting' perundang-undangan terkait kegiatan pengukuhan Wali Nanggroe. Qanun (Perda) lembaga Wali Nanggroe belum memenuhi aspek historis,filosofis, yuridis, politis, sosiologis, teknis maupun administratif," katanya.
Ia juga menyebutkan, pengukuhan Wali Nanggroe itu juga bertentangan dengan aspek historis, karena dalam literatur sejarah kerajaan Aceh tidak ada struktur Wali Nanggroe.
"Bahkan, terkait dengan Wali Nanggroe itu kami telah melakukan cek ke Museum Aceh di Belanda melalui jaringan YARA di Belanda dan ahli sejarah yang ada di Aceh, sehingga secara Administratif Pemerintahan posisi Wali Nanggroe ini tidak tahu harus diposisikan dimana," kata Safaruddin.
Kemudian, ditinjau dari aspek filosofis, bahwa Aceh adalah daerah yang adat istiadatnya sangat kental dengan keislaman, bahkan hal tersebut telah terbentuk dalam pepatah lokal yakni "hukum ngen adat lagee dzat ngen sifet" (hukum dan adat seperti zat dan sifat).
"Artinya Qanun lembaga Wali Nanggroe yang akan dibentuk di Aceh sebagai representasi adat istiadat harus bersendikan nilai-nilai keislaman, namun nilai keislaman itu tidak tertuang di dalam Qanun Wali nanggroe seperti meniadakan pembacaan Alquran kepada calon Wali Nanggroe. Itu jelas tidak sesuai dengan pepatah Aceh yang telah melegenda dalam sanubari masyarakat," katanya.
Selanjutnya, Safaruddin menjelaskan dari aspek politis bahwa Wali Nanggroe yang dibentuk oleh DPRA masih mendapat pertentangan yang luas oleh masyarakat Aceh.
Menurut dia, seharusnya DPRA memperhatikan aspirasi masyarakat Aceh yang menentang itu, jika jika perlu membuat jajak pendapat/referendum tentang Qanun Wali Nanggroe seperti yang pernah di sampaikan Banleg DPRA dalam prokontra Qanun bendera dan lambang.
Kemudian, menurutnya pengukuhan Wali Nanggroe dari aspek yuridis bahwa DPRA tidak punya kewenangan secara hukum untuk melakukan pengukuhan, sebab dalam UU DPRA hanya melakukan paripurna Istimewa untuk melantik kepala daerah oleh Pemerintah Pusat melalui Mendagri.
Safaruddin menjelaskan, bahkan Qanun tersebut yang menjadi dasar adanya Wali Nanggroe belum dijalankan sesuai dengan koreksi Kendagri.
"DPRA sebagai lembaga Legislatif harus memahami tupoksinya sesuai dengan perundang-undangan, malah kami mempertanyakan siapa yang telah memberikan kewenangan kepada DPRA untuk melakukan pengukuhan tersebut," kata Direktur YARA menjelaskan.
Ketua DPRA Hasbi Abdullah menyebutkan, pihaknya sudah melakukan sejumlah perubahan Qanun No 8/2012 setelah mempertimbangkan masukan dari Kementerian Dalam Negeri. Perubahan itu dituangkan dalam Qanun Nomor 9/2013.
"Kita melihat ke belakang, pembentukan lembaga wali nanggroe mengalami berbagai kendala, sehingga terjadi tarik ulur," kata Hasbi menjelaskan.
Meski demikian, keberadaan lembaga pada awalnya Lembaga Wali Nanngroe juga tidak hanya terjadi pertentangan antara pusat dan daerah, tapi juga antar elemen masyarakat daerah ini.
"Meski awalnya terjadi pertentangan namun semuanya itu kami melihat sebuah situasi biasa di alam demokratis ini," kata Hasbi Abdullah.
Keberadaan Wali Nanggroe diharapkan dapat menjadi pemersatu masyarakat Aceh serta mampu membawa kesejahteraan serta simbol kebesaran Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.(Azhari)
Lagu Indonesia Raya juga memecahkan keheningan dalam gedung tak kala pambawa acara mengumumkan dimulainya pengukuhan Wali Nanggroe Malik Mahmud yang dihadiri ribuan orang di komplek DPR Aceh, sekitar pukul 09.00 WIB, Senin.
Beberapa saat kemudian, Malik Mahmud Al-Haytar yang menggunakan pakaian adat khas Aceh turun dari atas mimbar utama menuju sebuah meja untuk menandatangani "amanat" dari pengukuhan dirinya sebagai Wali Nanggroe Aceh ke-9.
Sementara Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah berdiri di depan sebagai saksi dalam pengukuhan Malik Mahmud Al-Haytar sebagai Wali Nanggroe Aceh.
Dari luar gedung, ribuan orang tampak khusuk menyaksikan prosesi pengukuhan Wali Nanggroe meski hanya bisa menyaksikannya lewat televisi yang dipancarkan secara langsung TVRI stasiun Banda Aceh.
Sedangkan di luar komplek gedung legislatif, belasan ribu laki-laki dan perempuan tampak juga rela berdiri di atas ruas jalan raya dengan kondisi cuaca panas hanya ingin menyaksikan prosesi pengukuhan Wali Nanggroe yang diharapkan mampu membawa kesejahteraan, dan perdamaian bagi masyarakat Aceh.
"Kami berharap dengan adanya Wali Nanggroe, maka masyarakat akan hidup lebih baik dan bisa sejahtera. Aceh jangan lagi konflik, kepedihan dan kesengsaraan akibat konflik masih kami rasakan," kata Tgk Hamdani (50), warga Bireuen.
Sementara itu, Ny Idawati juga berharap agar Aceh kedepan tidak lagi bergelut dengan situasi ketidakpastian dari berbagai aspek, khususnya masalah keamanan harus benar-benar bisa mewujudkan daerah ini kondusif.
"Sebagai seorang ibu, kami berharap situasi Aceh tetap damai, aman dan sejahtera sehingga tidak lagi adanya rasa was-was. Pilunya hati ketika konflik lalu jangan sampai terulang kembali dimasa mendatang. Keberadaan Wali Nanggroe harus membuat Aceh damai, sejahtera," kata wanita asal Calang, Aceh Jaya.
Revitalisasi peradaban
Sementara itu, dalam sambutan pertamanya, Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haytar menyatakan perlunya melakukan revitalisasi seluruh peradaban Aceh dan menjadikannya sebagai bagian dari peradanan Indonesia dan dunia.
"Saya memandang kita perlu merevitalisasi seluruh pranata peradaban Aceh dan menjadikannya sebagai bagian dari peradaban Indonesia dan dunia," kata malik Mahmud di gedung DPRA.
Sebab, menurut Wali Nanggroe tidak ada artinya status kekhususan dan keistimewaan Aceh jika pranata peradaban di provinsi ini tidak lagi berfungsi sebagai pilar pembangunan Aceh.
"Akan hilang maknanya kebebasan, perdamaian dan kemartaban serta peradaban sebuah bangsa, jika kita tidak saling percaya dan menghormati atas nilai-nilai perdaban kita serta menjadikannya sebagai landasan dan ciri-ciri khas tamadun Aceh," kata mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang lama berdomisili di luar negeri itu.
Malik Mahmud juga menyebutkan tiga tantangan besar kedepan dalam mengurangi kesenjangan sosial, ketidakadilan ekonomi, dan kesenjangan antara wilayah yang perlu segera ditemukan resolusinya dalam membangun Aceh secara utuh berbasiskan nila-nilai peradaban daerah ini.
Pertama, bagaimana semua pihak berdaya menghadapi ancaman global atas perdamaian dunia yang berdampak pada keberlanjutan perdamaian Aceh.
Kedua, bagaimana bisa merespon ancaman liberalisasi kebudayaan. Dan ketiga yakni bagaimana juga harus merespon ancaman sekaligus meraih peluang leberalisasi ekonomi yang ditandai dengan lonjakan harga pangan dan energi yang terus meningkat secara cepat.
"Dalam pandangan saya, perlunya kita melakukan terobosan dan atau perubahan secara fundamental yang dimulai dari bangku sekolah/madrasah sejak usia dini hingga perguruan tinggi atau dalam bahasa lainnya kita perlu melakukan revolusi pendidikan.Sejalan dengan proses transformasi pengetahuan yang saat ini sedang berjalan di Aceh," katanya menjelaskan.
Berdasarkan pandangannya, Malik Mahmud mengatakan perlunya revolusi pendidikan itu karena pada hakekatnya pendidikan itu adalah membebaskan seseorang untuk berinovasi dan berkreativitas sesuai dengan potensi atau keunggulan yang dimilikinya.
Kemudian, kata dia nantinya pendidikan tidak semata-mata untuk mempersiapkan seseorang menjadi pegawai pemerintah, melainkan anak-anak Aceh yang sejak usia dini sampai perguruan tinggi sudah dididik berdaya dalam menumbuhkan budaya inovasi kreatifitas dalam mengelola sumbertdaya alam.***1***
Pro dan kontra
Kendati demikian, pengukuhan Malik Mahmud Al-Haytar masih mengundang pro dan kontra baik di dalam masyarakat Aceh sendiri maupun antara DPRA, Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat (Mendagri).
Sikap sebagian elemen masyarakat Aceh seperti Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) menolak pengukuhan Wali Nanggroe.
Direktur YARA Safaruddin menilai DPRA dan Pemerintah Aceh telah melanggar empat aspek terkait dengan pengukuhan Wali Nanggroe Malek Mahmud Al-Haytar.
"Legislatif dan eksekutif Aceh mengabaikan 'Legal Drafting' perundang-undangan terkait kegiatan pengukuhan Wali Nanggroe. Qanun (Perda) lembaga Wali Nanggroe belum memenuhi aspek historis,filosofis, yuridis, politis, sosiologis, teknis maupun administratif," katanya.
Ia juga menyebutkan, pengukuhan Wali Nanggroe itu juga bertentangan dengan aspek historis, karena dalam literatur sejarah kerajaan Aceh tidak ada struktur Wali Nanggroe.
"Bahkan, terkait dengan Wali Nanggroe itu kami telah melakukan cek ke Museum Aceh di Belanda melalui jaringan YARA di Belanda dan ahli sejarah yang ada di Aceh, sehingga secara Administratif Pemerintahan posisi Wali Nanggroe ini tidak tahu harus diposisikan dimana," kata Safaruddin.
Kemudian, ditinjau dari aspek filosofis, bahwa Aceh adalah daerah yang adat istiadatnya sangat kental dengan keislaman, bahkan hal tersebut telah terbentuk dalam pepatah lokal yakni "hukum ngen adat lagee dzat ngen sifet" (hukum dan adat seperti zat dan sifat).
"Artinya Qanun lembaga Wali Nanggroe yang akan dibentuk di Aceh sebagai representasi adat istiadat harus bersendikan nilai-nilai keislaman, namun nilai keislaman itu tidak tertuang di dalam Qanun Wali nanggroe seperti meniadakan pembacaan Alquran kepada calon Wali Nanggroe. Itu jelas tidak sesuai dengan pepatah Aceh yang telah melegenda dalam sanubari masyarakat," katanya.
Selanjutnya, Safaruddin menjelaskan dari aspek politis bahwa Wali Nanggroe yang dibentuk oleh DPRA masih mendapat pertentangan yang luas oleh masyarakat Aceh.
Menurut dia, seharusnya DPRA memperhatikan aspirasi masyarakat Aceh yang menentang itu, jika jika perlu membuat jajak pendapat/referendum tentang Qanun Wali Nanggroe seperti yang pernah di sampaikan Banleg DPRA dalam prokontra Qanun bendera dan lambang.
Kemudian, menurutnya pengukuhan Wali Nanggroe dari aspek yuridis bahwa DPRA tidak punya kewenangan secara hukum untuk melakukan pengukuhan, sebab dalam UU DPRA hanya melakukan paripurna Istimewa untuk melantik kepala daerah oleh Pemerintah Pusat melalui Mendagri.
Safaruddin menjelaskan, bahkan Qanun tersebut yang menjadi dasar adanya Wali Nanggroe belum dijalankan sesuai dengan koreksi Kendagri.
"DPRA sebagai lembaga Legislatif harus memahami tupoksinya sesuai dengan perundang-undangan, malah kami mempertanyakan siapa yang telah memberikan kewenangan kepada DPRA untuk melakukan pengukuhan tersebut," kata Direktur YARA menjelaskan.
Ketua DPRA Hasbi Abdullah menyebutkan, pihaknya sudah melakukan sejumlah perubahan Qanun No 8/2012 setelah mempertimbangkan masukan dari Kementerian Dalam Negeri. Perubahan itu dituangkan dalam Qanun Nomor 9/2013.
"Kita melihat ke belakang, pembentukan lembaga wali nanggroe mengalami berbagai kendala, sehingga terjadi tarik ulur," kata Hasbi menjelaskan.
Meski demikian, keberadaan lembaga pada awalnya Lembaga Wali Nanngroe juga tidak hanya terjadi pertentangan antara pusat dan daerah, tapi juga antar elemen masyarakat daerah ini.
"Meski awalnya terjadi pertentangan namun semuanya itu kami melihat sebuah situasi biasa di alam demokratis ini," kata Hasbi Abdullah.
Keberadaan Wali Nanggroe diharapkan dapat menjadi pemersatu masyarakat Aceh serta mampu membawa kesejahteraan serta simbol kebesaran Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.(Azhari)