Kuala Lumpur, (AntaraKL) - Bila ada kesempatan berkunjung ke
Singapura, cobalah beberapa hari tinggal bersama masyarakatnya. Tidak
melulu mengunjungi tempat-tempat wisata dan dunia belanjanya.
Banyak hal menarik yang bisa kita cermati, mulai dari hukuman denda
untuk kesalahan kecil sekalipun, keberadaan Persatuan Tandas hingga
upaya mempertahankan tradisi saat pernikahan.
Untuk melihat Singapura lebih dekat dengan masyarakatnya, kebetulan
saya dibawa oleh seorang "pak Lurah". Jangan bayangkan seseorang yang
bergelar lurah itu pakai seragam dengan tanda bintang sebesar jengkol
dikantongnya. Ia justru bekerja di salah satu BUMN yang mengurusi jalan
tol. Tugasnya sebagai lurah hanya sampingan. Ia mencatat segala keluhan
masyarakat di kawasannya atau mengontrol langsung apa-apa yang patut
dibenahi. Setiap ada pertemuan dengan anggota parlemen ia pun wajib
hadir. Fasilitas yang ia dapatkan, dimanapun parkir dalam kawasannya
tidak akan dikenai bayaran.
Singapura terkenal dengan julukan 'fine city' atau kota denda. Buang
puntung rokok sembarangan kena denda. Meludah tidak pada tempatnya,
kencing, buang sampah sembarangan juga akan didenda.
Di tepi-tepi jalan, terutama ditempat-tempat umum yang ramai orang,
akan ada petugas pencatat dan penindak langsung di TKP. Biasanya petugas
ini orang-orang tua yang sudah pensiun. Dia akan berdiri di jalan
berpakaian biasa dan tanpa tanda pengenal. Ia akan bertindak bila
menemukan orang yang berbuat salah, baru menunjukkan identitasnya.
Tapi untuk petugas pencatat kesalahan parkir datang dalam keadaan
yang berseragam. Mereka akan mencatat termasuk kenderaan yang tidak
menambah kupon atau lupa menggantinya. Setelah mereka catat tidak akan
ditinggalkan apa-apa peringatan.
Untuk kendaraan Singapura denda itu akan dibayar setelah datangnya
surat ke rumah. Kalau diabaikan maka akan menambah poin. Setiap warga
Singapura ada batas poin tertentu, dan jika batas ini sudah terlampaui
maka surat izin mengemudi warga bersangkutan akan "digantung" dan tidak
boleh mengendarai lagi dalam masa tertentu. Bagi kendaraan asing denda
itu akan terlihat di pintu imigrasi Woodland atau Tuas yang akan
melintas ke Johor.
Bagi setiap anak yang baru lahir orangtua wajib menyimpan sejumlah
uang kepada pemerintah dan boleh dicicil setiap bulan sesuai dengan
kemampuannya. Uang ini nantinya boleh digunakan untuk biaya pendidikan
setingkat pendidikan tinggi ataupun perawatan rumah sakit yang sangat
besar. Tidak boleh digunakan untuk keperluan lain yang bersifat pemuasan
pribadi.
Setelah tamat SMA pula sebagian remaja ini akan dipilih sebagai
peserta wajib militer. Ada juga yang ikut serta program polisi. Biasanya
kewajiban ini berlaku untuk dua tahun.
Para remaja itu akan dididik dalam kem, menggunakan senjata,
menangkap penjahat dan bagaimana kerja seorang petugas forensik
sesungguhnya. Tentunya selama pendidikan itu mereka digaji, sekitar
1.000 dolar Singapura setiap bulan.
Setelah ikut pendidikan dan magang itu semua para remaja ini bebas
memilih apakah akan melanjutkan karir sebagai militer dan polisi atau
kembali sebagai masyarakat sipil.
Mari kita lihat bagaimana kehidupan di kawasan perumahan warganya.
Warga disini tidak pernah ada yang mengeluh karena mati lampu. Truk
sampah datang tiga kali sehari tepat waktu. Cara mengangkut sampah pun
diatur sedemikian rupa, tidak dibenarkan air menetes dari truk sampah
apalagi sampai mengeluarkan bau.
Kerapian dan kesuburan tanaman disekitar rumah ada yang merawatnya.
Setiap lantai wajib disapu setiap hari dan sebulan sekali disembur lalu
di pel. Bahkan seekor nyamuk pun tidak akan dibiarkan masuk kedalam
rumah sebab ada orang yang menyemprotnya seminggu sekali.
Berada di jalanan sampai pukul berapa saja akan merasa nyaman.
Seluruh ruas jalan dipenuhi penerangan yang cukup. Bila pagi menjelang
akan terlihat generasi umur 30 tahunan keatas ramai berjoging di trotoar
jalan-jalan perumahannya. Tentu saja mereka sangat menikmati jogingnya
mulai pukul 6 hingga 8 pagi. Kendaraan tidak banyak dan udara segar
dimana-mana.
Di negara kecil ini ada sebuah lembaga nonpemerintah yang unik.
Persatuan Tandas namanya. Tugasnya hanya menilai kelayakan dan standar
sebuah toilet umum dimanapun berada, di mesjid, gereja, pasar ataupun
restoran.
Sebenarnya masyarakat Singapura sudah punya standar tinggi dalam hal
kebersihan. Katakanlah di mesjid saja, masuk toilet tersedia sandal
khusus toilet yang tidak boleh dibawa keluar. Ada sabun cuci tangan yg
senantiasa tersedia penuh dan terjaga wanginya dalam toilet. Aliran air
dalam parit kecil dibawah tempat wudhu pun ditutup dengan besi stainles.
Jadi ketika ada orang berwudhu sambil meludah atau lebih dari itu tidak
akan sampai terlihat alirannya dengan orang lain disebelahnya. Standar
kebersihan mereka saat ini tentunya akan mampu lebih tinggi dari
sekarang ketika diberi penghargaan oleh Persatuan Tandas ini.
Mungkin disebabkan ketertiban, keteraturan dan kebersihan yang ada
disana juga makanya orang betah berlama-lama tinggal di Singapura. Pajak
yang dibebani kepada masyarakat memang besar, sama besarnya dengan
manfaat yang didapat kembali oleh masyarakatnya. Dengan beban yang
tinggi itu pula setiap individu dituntut untuk berprestasi untuk dapat
bertahan.
Mempertahankan Tradisi
Kebetulan kunjungan kali ini saya mendapat undangan pernikahan
kerabat disana. Mereka keluarga besar ras melayu. Jumlah orang Melayu
tidak sampai 20 persen di Singapura.Pesta perkawinan masyarakat Melayu
disini menggunakan kumpulan 'kompang' sebagai hiburan. Kompang ini
seperti marhaban kalau di Indonesia. Mereka memainkan gendang juga
gamelan. Lagu-lagu yang dibawakan bertemakan shalawat dan puji-pujian
kepada nabi. Tak lupa pula memberi pujian kepada pengantin baru sebagai
ucapan selamat menempuh mahligai baru.
Waktu itu sebelum pernikahan dimulai disebutkan jumlah mahar yang
diberikan anak muda tersebut kepada mempelai perempuan. Selain
perlengkapan sholat, kitab dan sebentuk cincin berlian juga diserahkan
uang tunai sejumlah 14.000 dolar Singapura. Jumlah yang lumayan juga.
Ternyata untuk saat ini pasaran mahar perkawinan anak-anak muda kelas
menengah Singapura sejumlah 10.000 hingga 15.000 dolar Singapura. Kalau
melihat maharnya saja saya jadi terfikir kembali, benarkah mereka
terhimpit hidupnya oleh tekanan pajak? Ah, biarlah pengamat ekonomi yang
menjawabnya. (SH)