Jakarta (Antara) - Sepanjang 2013, Mabes Polri mengaku telah menangani sebanyak 12 kasus terorisme. Ada sekitar 20 orang pelaku yang masuk dalam proses penyidikan. Sebanyak 28 orang lainnya telah menjalani persidangan dan tujuh orang telah mendapat vonis.
Meski berbeda, data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat ada 87 orang pelaku terorisme yang ditangkap sepanjang Januari hingga pertengahan Desember 2013.
Ada pun sepanjang 2012, lembaga yang dibentuk sejak 2010 itu mencatat ada 89 orang pelaku yang ditangkap aparat penegak hukum.
Namun, apalah arti angka jika ancaman terorisme masih kuat berhembus. Bahkan beberapa hari sebelum pergantian tahun, ditemukan tas berisi dua rangkaian bom rakitan di sebuah warteg di kawasan Panongan, Tangerang, Banten.
Menengok ke belakang, sepanjang 2013 ada banyak penggerebekan dan penangkapan sejumlah pelaku aksi terorisme.
Penggerebekan yang paling menegangkan terjadi di Cigondewah, Bandung, Jawa Barat, 8 Mei lalu. Saat itu, terjadi baku tembak antara tim Densus 88 dan sejumlah terduga teroris.
Penggerebekan yang berlangsung hingga sekitar empat jam itu bahkan disiarkan langsung oleh stasiun televisi. Selang beberapa jam, lima terduga terorisme berhasil diamankan. Tiga orang di antaranya tewas.
Sekitar sepekan sebelumnya, Densus 88 juga menangkap dua terduga teroris yang tengah membawa lima buah bom pipa untuk diledakkan di Kedutaan Besar Myanmar. Motifnya, balas dendam terhadap kekerasan muslim Rohingya, Myanmar. Rencana pemboman pun gagal dilakukan.
Malam yang sama, petugas Densus 88 langsung menggerebek rumah kontrakan salah satu pelaku di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Sontak, warga kaget dan tidak percaya ada pelaku teror di lingkungan tempat tinggal mereka.
Kejadian yang tak kalah mengejutkan adalah adanya peristiwa bom bunuh diri di halaman Mapolres Poso, Sulawesi Tengah, 3 Juni 2013.
Seorang pria yang belakangan diketahui bernama Zainul Arifin, mengendarai sepeda motornya masuk ke halaman Mapolres Poso dan meledakkan diri. Beruntung, tak ada anggota polisi yang terluka dalam insiden tersebut karena anggota kepolisian baru saja selesai melaksanakan apel pagi.
Penembakan Polisi
Sepanjang 2013, aksi terorisme yang paling menggemparkan adalah penembakan terhadap anggota kepolisian. Pada 27 Juli lalu, anggota Satuan Lalu Lintas Polsek Metro Gambir, Jakarta Pusat, Aipda Patah Saktiyono ditembak di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Beruntung, ia selamat dalam aksi teror tersebut.
Pada 7 Agustus 2013, Aiptu Dwiyatno tewas ditembak oleh orang tak dikenal di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Sepekan kemudian, giliran Aiptu Kushendratna dan Bripka Ahmad Maulana tewas ditembak di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten.
Pada 10 September 2013, Aipda (Anumerta) Sukardi, tewas ditembak orang tak dikenal ketika tengah mengawal enam truk di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.
Kapolri Jenderal Pol Sutarman mengaku, penembakan terhadap anggota kepolisian merupakan aksi balas dendam para pelaku terorisme. Mereka menganggap polisi sebagai penghalang aksi teror yang ingin dilancarkan.
"Motifnya dendam. Dalam aksinya, polisi dianggap penghalang. Bahkan dalam buku yang beredar dari kelompok teroris, polisi dianggap sebagai thagut (setan). Mereka menganggap menyerang polisi itu halal," kata Sutarman.
Atas rangkaian teror terhadap anggota kepolisian itu, Polri mengaku telah menahan tujuh orang yang diduga terlibat dalam penyerangan itu. Sayangnya, kepolisian mengaku belum bisa meringkus eksekutor dalam sejumlah kejadian tersebut.
Penyerangan aparat penegak hukum kini menjadi kegiatan yang kerap dilakukan para pelaku terorisme. Hal tersebut menunjukan adanya pergeseran pola penyerangan dalam aksi teroris yang dilakukan belakangan ini.
Setidaknya ada lima pergeseran pola dalam aksi terorisme di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pertama, jika pada awalnya yang menjadi sasaran adalah Amerika Serikat dan negara-negara Barat, saat ini sasarannya bergeser ke dalam negeri dengan target pemerintah dan aparat keamanan.
Polisi sebagai aparat yang berada di garis terdepan, menjadi sasaran empuk para teroris yang belakangan melancarkan aksinya.
Kedua, pola aksi terorisme bergeser dari menggunakan bom berskala besar menjadi bom skala kecil, bom rakitan, racun kimia dan serangan pembunuhan. Pelaku teror kini memilih untuk memanfaatkan barang-barang yang mudah didapat di pasaran karena pemerintah mulai mengawasi peredaran bahan peledak.
Hal itu terlihat di sepanjang 2013 yang menunjukkan bahwa kegiatan terorisme cenderung stabil. Pasalnya sepanjang tahun tidak ditemukan adanya peristiwa besar. Meski demikian, ancaman teror terus bermunculan dari kelompok-kelompok kecil.
"2013 relatif stabil dibanding tahun 2012 lalu, indikatornya kejadian yang ada dan teroris yang tertangkap," kata Kepala BNPT Ansyaad Mbai beberapa waktu lalu.
Pola perubahan selanjutnya adalah pelatihan aksi terorisme kini telah dibuka di dalam negeri. Tak seperti dahulu ketika pelatihan dipusatkan di Afganistan dan wilayah medan konflik di luar negeri, saat ini sel-sel terorisme tumbuh subur di Tanah Air. Salah satu tempat pelatihan awalnya berada di Aceh, sebelum diobrak-abrik penegak hukum. Kini, wilayah Poso, Sulawesi Tengah, disinyalir sebagai lokasi pelatihan aksi teror yang baru.
Keempat, pola penyebaran paham, rekrutmen, pelatihan hingga perakitan senjata dan bom kini bisa dilakukan secara digital dengan bantuan media sosial. Itu sebabnya banyak pelaku teror yang sudah ditangkap kepolisian rata-rata berusia muda.
Kelima, jika dulu pelaku teror menyerang kedutaan besar, restoran atau hotel, kini sasarannya berubah menjadi pola pikir (mindset) masyarakat. Mereka mencoba menghasut masyarakat dengan informasi yang salah, menyebarkan kebencian pada pemerintah, dan mengajak masyarakat melakukan aksi terorisme.
Selain menyasar anak muda yang rentan dalam pemahaman, para pelaku juga menyebarkan "virus" tersebut ke rumah-rumah ibadah, lembaga pendidikan keagamaan, perguruan tinggi hingga sekolah serta media sosial di dunia maya.
Satukan Kekuatan
Metode penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri dan BNPT memang sedikit berbeda. Mabes Polri fokus dalam penegakan hukum, sementara upaya BNPT mengedepankan sosialisasi bahaya terorisme kepada masyarakat. Meski beda cara, kedua institusi itu mengaku terus menyatukan kekuatan untuk menumpas terorisme.
Dalam penanganan aksi terorisme, BNPT bertugas memberikan informasi tentang jaringan, keberadaan dan tindak tanduk pelaku. Sementara Mabes Polri melalui Densus 88 Antiteror yang melaksanakan tugas penangkapan dan pengamanan terhadap pelaku terorisme, termasuk mengawal hingga tingkat peradilan.
"Tidak ada overlapping (tumpang tindih) tugas antara BNPT dan Polri, kami berikan informasi soal teroris, satuan tugas kami juga ikut membantu Densus 88," kata Ansyaad.
Di sisi lain, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar juga menegaskan adanya kerja sama antara kedua institusi dalam pemberantasan terorisme.
"Satgas yang dibentuk BNPT, dalam tugasnya, selalu melibatkan Densus 88 AT Mabes Polri. Jadi dalam hal ini semuanya berkoordinasi," katanya.
Aksi teror sepanjang 2013 bisa dibilang masih jauh dari titik puncaknya. Meski tidak masif, api teror masih terus menyala. Api teror harus segera padam sebelum ia menyulut kebakaran yang lebih besar.
Meski berbeda, data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat ada 87 orang pelaku terorisme yang ditangkap sepanjang Januari hingga pertengahan Desember 2013.
Ada pun sepanjang 2012, lembaga yang dibentuk sejak 2010 itu mencatat ada 89 orang pelaku yang ditangkap aparat penegak hukum.
Namun, apalah arti angka jika ancaman terorisme masih kuat berhembus. Bahkan beberapa hari sebelum pergantian tahun, ditemukan tas berisi dua rangkaian bom rakitan di sebuah warteg di kawasan Panongan, Tangerang, Banten.
Menengok ke belakang, sepanjang 2013 ada banyak penggerebekan dan penangkapan sejumlah pelaku aksi terorisme.
Penggerebekan yang paling menegangkan terjadi di Cigondewah, Bandung, Jawa Barat, 8 Mei lalu. Saat itu, terjadi baku tembak antara tim Densus 88 dan sejumlah terduga teroris.
Penggerebekan yang berlangsung hingga sekitar empat jam itu bahkan disiarkan langsung oleh stasiun televisi. Selang beberapa jam, lima terduga terorisme berhasil diamankan. Tiga orang di antaranya tewas.
Sekitar sepekan sebelumnya, Densus 88 juga menangkap dua terduga teroris yang tengah membawa lima buah bom pipa untuk diledakkan di Kedutaan Besar Myanmar. Motifnya, balas dendam terhadap kekerasan muslim Rohingya, Myanmar. Rencana pemboman pun gagal dilakukan.
Malam yang sama, petugas Densus 88 langsung menggerebek rumah kontrakan salah satu pelaku di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Sontak, warga kaget dan tidak percaya ada pelaku teror di lingkungan tempat tinggal mereka.
Kejadian yang tak kalah mengejutkan adalah adanya peristiwa bom bunuh diri di halaman Mapolres Poso, Sulawesi Tengah, 3 Juni 2013.
Seorang pria yang belakangan diketahui bernama Zainul Arifin, mengendarai sepeda motornya masuk ke halaman Mapolres Poso dan meledakkan diri. Beruntung, tak ada anggota polisi yang terluka dalam insiden tersebut karena anggota kepolisian baru saja selesai melaksanakan apel pagi.
Penembakan Polisi
Sepanjang 2013, aksi terorisme yang paling menggemparkan adalah penembakan terhadap anggota kepolisian. Pada 27 Juli lalu, anggota Satuan Lalu Lintas Polsek Metro Gambir, Jakarta Pusat, Aipda Patah Saktiyono ditembak di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Beruntung, ia selamat dalam aksi teror tersebut.
Pada 7 Agustus 2013, Aiptu Dwiyatno tewas ditembak oleh orang tak dikenal di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Sepekan kemudian, giliran Aiptu Kushendratna dan Bripka Ahmad Maulana tewas ditembak di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten.
Pada 10 September 2013, Aipda (Anumerta) Sukardi, tewas ditembak orang tak dikenal ketika tengah mengawal enam truk di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.
Kapolri Jenderal Pol Sutarman mengaku, penembakan terhadap anggota kepolisian merupakan aksi balas dendam para pelaku terorisme. Mereka menganggap polisi sebagai penghalang aksi teror yang ingin dilancarkan.
"Motifnya dendam. Dalam aksinya, polisi dianggap penghalang. Bahkan dalam buku yang beredar dari kelompok teroris, polisi dianggap sebagai thagut (setan). Mereka menganggap menyerang polisi itu halal," kata Sutarman.
Atas rangkaian teror terhadap anggota kepolisian itu, Polri mengaku telah menahan tujuh orang yang diduga terlibat dalam penyerangan itu. Sayangnya, kepolisian mengaku belum bisa meringkus eksekutor dalam sejumlah kejadian tersebut.
Penyerangan aparat penegak hukum kini menjadi kegiatan yang kerap dilakukan para pelaku terorisme. Hal tersebut menunjukan adanya pergeseran pola penyerangan dalam aksi teroris yang dilakukan belakangan ini.
Setidaknya ada lima pergeseran pola dalam aksi terorisme di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pertama, jika pada awalnya yang menjadi sasaran adalah Amerika Serikat dan negara-negara Barat, saat ini sasarannya bergeser ke dalam negeri dengan target pemerintah dan aparat keamanan.
Polisi sebagai aparat yang berada di garis terdepan, menjadi sasaran empuk para teroris yang belakangan melancarkan aksinya.
Kedua, pola aksi terorisme bergeser dari menggunakan bom berskala besar menjadi bom skala kecil, bom rakitan, racun kimia dan serangan pembunuhan. Pelaku teror kini memilih untuk memanfaatkan barang-barang yang mudah didapat di pasaran karena pemerintah mulai mengawasi peredaran bahan peledak.
Hal itu terlihat di sepanjang 2013 yang menunjukkan bahwa kegiatan terorisme cenderung stabil. Pasalnya sepanjang tahun tidak ditemukan adanya peristiwa besar. Meski demikian, ancaman teror terus bermunculan dari kelompok-kelompok kecil.
"2013 relatif stabil dibanding tahun 2012 lalu, indikatornya kejadian yang ada dan teroris yang tertangkap," kata Kepala BNPT Ansyaad Mbai beberapa waktu lalu.
Pola perubahan selanjutnya adalah pelatihan aksi terorisme kini telah dibuka di dalam negeri. Tak seperti dahulu ketika pelatihan dipusatkan di Afganistan dan wilayah medan konflik di luar negeri, saat ini sel-sel terorisme tumbuh subur di Tanah Air. Salah satu tempat pelatihan awalnya berada di Aceh, sebelum diobrak-abrik penegak hukum. Kini, wilayah Poso, Sulawesi Tengah, disinyalir sebagai lokasi pelatihan aksi teror yang baru.
Keempat, pola penyebaran paham, rekrutmen, pelatihan hingga perakitan senjata dan bom kini bisa dilakukan secara digital dengan bantuan media sosial. Itu sebabnya banyak pelaku teror yang sudah ditangkap kepolisian rata-rata berusia muda.
Kelima, jika dulu pelaku teror menyerang kedutaan besar, restoran atau hotel, kini sasarannya berubah menjadi pola pikir (mindset) masyarakat. Mereka mencoba menghasut masyarakat dengan informasi yang salah, menyebarkan kebencian pada pemerintah, dan mengajak masyarakat melakukan aksi terorisme.
Selain menyasar anak muda yang rentan dalam pemahaman, para pelaku juga menyebarkan "virus" tersebut ke rumah-rumah ibadah, lembaga pendidikan keagamaan, perguruan tinggi hingga sekolah serta media sosial di dunia maya.
Satukan Kekuatan
Metode penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri dan BNPT memang sedikit berbeda. Mabes Polri fokus dalam penegakan hukum, sementara upaya BNPT mengedepankan sosialisasi bahaya terorisme kepada masyarakat. Meski beda cara, kedua institusi itu mengaku terus menyatukan kekuatan untuk menumpas terorisme.
Dalam penanganan aksi terorisme, BNPT bertugas memberikan informasi tentang jaringan, keberadaan dan tindak tanduk pelaku. Sementara Mabes Polri melalui Densus 88 Antiteror yang melaksanakan tugas penangkapan dan pengamanan terhadap pelaku terorisme, termasuk mengawal hingga tingkat peradilan.
"Tidak ada overlapping (tumpang tindih) tugas antara BNPT dan Polri, kami berikan informasi soal teroris, satuan tugas kami juga ikut membantu Densus 88," kata Ansyaad.
Di sisi lain, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar juga menegaskan adanya kerja sama antara kedua institusi dalam pemberantasan terorisme.
"Satgas yang dibentuk BNPT, dalam tugasnya, selalu melibatkan Densus 88 AT Mabes Polri. Jadi dalam hal ini semuanya berkoordinasi," katanya.
Aksi teror sepanjang 2013 bisa dibilang masih jauh dari titik puncaknya. Meski tidak masif, api teror masih terus menyala. Api teror harus segera padam sebelum ia menyulut kebakaran yang lebih besar.
Oleh Ade Irma Junida
Editor: Fitri Supratiwi
COPYRIGHT © 2013