Banda Aceh, 14/12 (Antara) - Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh Safaruddin menilai DPRA dan Pemerintah Aceh telah melanggar empat aspek terkait dengan pengukuhan Wali Nanggroe Malek Mahmud Al-Haytar.
"Legislatif dan eksekutif Aceh mengabaikan 'Legal Drafting' perundang-undangan terkait kegiatan pengukuhan Wali Nanggroe. Qanun (Perda) lembaga Wali Nanggroe belum memenuhi aspek historis,filosofis, yuridis, politis, sosiologis, teknis maupun administratif," katanya di Banda Aceh, Sabtu.
Ia juga menyebutkan, pengukuhan Wali Nanggroe itu juga bertentangan dengan aspek historis, karena dalam literatur sejarah kerajaan Aceh tidak ada struktur Wali Nanggroe.
"Bahkan, terkait dengan Wali Nanggroe itu kami telah melakukan cek ke Museum Aceh di Belanda melalui jaringan YARA di Belanda dan ahli sejarah yang ada di Aceh, sehingga secara Administratif Pemerintahan posisi Wali Nanggroe ini tidak tahu harus diposisikan dimana," kata safaruddin.
Kemudian, ditinjau dari aspek filosofis, bahwa Aceh adalah daerah yang adat istiadatnya sangat kental dengan keislaman, bahkan hal tersebut telah terbentuk dalam pepatah lokal yakni "hukum ngen adat lagee dzat ngen sifet" (hukum dan adat seperti zat dan sifat).
"Artinya Qanun lembaga Wali Nanggroe yang akan dibentuk di Aceh sebagai representasi adat istiadat harus bersendikan nilai-nilai keislaman, namun nilai keislaman itu tidak tertuang di dalam Qanun Wali nanggroe seperti meniadakan pembacaan Al Quran kepada calon Wali Nanggroe. Itu jelas tidak sesuai dengan pepatah Aceh yang telah melegenda dalam sanubari masyarakat," katanya.
Selanjutnya, Safaruddin menjelaskan dari aspek politis bahwa Wali Nanggroe yang dibentuk oleh DPRA masih mendapat pertentangan yang luas oleh masyarakat Aceh.
Menurut dia, seharusnya DPRA memperhatikan aspirasi masyarakat Aceh yang menentang itu, jika jika perlu membuat jajak pendapat/referendum tentang Qanun Wali Nanggroe seperti yang pernah di sampaikan Banleg DPRA dalam prokontra Qanun bendera dan lambang.
Kemudian, menurutnya pengukuhan Wali Nanggroe dari aspek yurudis bahwa DPRA tidak punya kewenangan secara hukum untuk melakukan pengukuhan, sebab dalam UU DPRA hanya melakukan paripurna Istimewa untuk melantik kepala daerah oleh Pemerintah Pusat melalui Mendagri.
Safaruddin menjelaskan, bahkan Qanun trersebut yang menjadi dasar adanya Wali Nanggroe belum dijalankan sesuai dengan koreksi Kendagri.
"DPRA sebagai lembaga Legiatif harus memahami tupoksinya sesuai dengan perundang-undangan, malah kami mempertanyakan siapa yang telah memberikan kewenangan kepada DPRA untuk melakukan pengukuhan tersebut," kata Direktur YARA menjelaskan.(Azhari)