Jakarta (Antara) - Perekonomian nasional pada 2013 bisa dikatakan tidak secerah tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi pada tahun ini diperkirakan akan mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya akibat faktor eksternal dan internal.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2013 mencapai 5,7 persen, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi 2012 yang sebesar 6,3 persen.
Faktor eksternal yang mempengaruhi perekonomian Indonesia itu berupa ketidakpastian perekonomian global. Isu penghentian penggelontoran stimulus perekonomian AS oleh bank sentral AS, Federal Reserve, karena sejumlah indikator perekonomian menunjukkan perbaikan, menjadi salah satu penyebab ketidakpastian itu.
Banyak negara yang goyah atas kebijakan bank sentral AS itu. Indonesia menjadi salah satunya. Indonesia termasuk apa yang disebut Morgan Stanley sebagai "The Fragile Five" yakni lima negara yang paling rentan terkena kebijakan "tapering". Negara lain adalah Afrika Selatan, Brasil, India, dan Turki.
Kabar terbaru menyebutkan bahwa The Fed dalam waktu dekat bakal pasti mengurangi kucuran dana sebesar 10 miliar dolar AS ke pasar keuangan negara itu dari sebelumnya sebesar 85 miliar dolar AS per bulan.
Mengapa Indonesia rentan terhadap kebijakan AS itu?
Ternyata, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selama ini cukup tinggi yakni sekitar 6,2 persen dan dipuji dunia karena tingginya pertumbuhan itu ketika resesi dunia melanda, dibiayai oleh uang panas alias "hot money".
Uang panas yang gampang datang dan pergi itu berasal dari dana stimulus yang diluncurkan The Fed melalui kebijakan "Quantitative Easing" (QE). Dana tersebut mengalir ke Indonesia karena mampu memberi keuntungan paling besar.
Ketika isu "tapering" muncul, ekonomi Indonesia makin terpukul karena kondisi internal yang buruk berupa melemahnya ekspor Indonesia, yang selama ini didominasi ekspor sumber daya alam, dan meningkatnya impor yang didominasi jasa dan barang modal, telah menyebabkan terjadinya defisit transaksi berjalan .
Defisit ini akhirnya membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melorot. Hingga akhir tahun ini nilainya mencapai sekitar 12.200-an.
Bank Indonesia (BI) mencatat defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal III 2013 sebesar 8,4 miliar dollar AS atau 3,8 persen dari produk domestik bruto (PDB). Defisit transaksi berjalan ini menurun dibandingkan pada kuartal sebelumnya, yakni 9,9 miliar dollar AS atau 4,4 persen dari PDB.
Penurunan ini akibat peningkatan surplus neraca perdagangan non migas seiring dengan penurunan impor nonmigas yang lebih tajam dibandingkan penurunan ekspor nonmigas, serta berkurangnya defisit neraca jasa dan pendapatan.
Dengan adanya gambaran yang jelas tentang penyebab turunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, pemerintah seharusnya menunjukkan upaya untuk segera memperbaiki defisit transaksi berjalan, khususnya bila "tapering" atau pengurangan stimulus terjadi.
Selama ini memang terlihat upaya mengurangi defisit transaksi berjalan baru dilaksanakan dari sisi moneter. Belum ada kebijakan sektor ril yang mendukungnya, meski pemerintah sudah mengeluarkan sejumlah paket kebijakan untuk mengurangi defisit itu pada Agustus lalu.
Kebijakan seperti pemberian insentif bagi perusahaan-perusahaan padat karya yang berorientasi ekspor, peningkatan pajak bagi impor kendaraan mewah dan pengurangan penggunaan BBM dengan mendorong peningkatan penggunaan biodiesel, sampai akhir tahun ini belum sepenuhnya direalisasikan.
Ekonomi 2014
Perekonomian Indonesia pada 2014 bakal tetap dihadapkan pada ketidakpastian global di tengah ekonomi domestik yang diperkirakan mengalami penurunan pertumbuhan pada 2013 akibat upaya untuk mengurangi defisit transaksi berjalan.
Turunnya pertumbuhan ekonomi nasional itu sendiri sejalan dengan melemahnya perkiraan pertumbuhan ekonomi global menjadi sebesar 3,8 persen dari perkiraan sebelumnya 4 persen, yang antara lain diakibatkan melemahnya perekonomian Amerika Serikat, yang pada akhir tahun ini dilaporkan membaik, serta kawasan Eropa dan perekonomian India dan China.
Pelaksanaan pemilu anggota legislatif dan presiden pada tahun depan diperkirakan juga akan mewarnai perekonomian pada tahun depan itu.
Pemilu itu sendiri dimaknai beragam. Ada yang berpendapat pada tahun itu ketidakpastian berusaha akan meningkat karena terkadang pemilu diwarnai dengan tindakan anarkistis. Namun ada juga yang menilai kegiatan lima tahunan itu akan menumbuhkan optimisme karena Indonesia akan memiliki pemimpin baru.
Mungkin calon-calon pemimpin baru yang memiliki kebijakan untuk mengatasi masalah internal agar defisit transaksi berjalan berkurang, bahkan kalau bisa surplus, perlu dipertimbangkan untuk diberi kesempatan memimpin.
Kegiatan ekonomi nasional pada tahun depan sebenarnya masih sangat besar. Pemerintah masih terus melaksanakan pembangunan, antara lain di sektor infrastruktur yang membutuhkan permodalan dan pastinya bakal meningkatkan jumlah pekerjaan.
Jika pembangunan sektor infrastruktur berjalan lancar, maka itu akan berdampak pada peningkatan kegiatan lainnya seperti investasi, transportasi dan konsumsi.
Di pasar modal, sudah ada sejumlah emiten yang menyatakan bakal melepas saham perdananya atau IPO. Dengan makin meningkatnya jumlah emiten di bursa, maka kapitalisasi pasar di bursa nasional akan makin besar sehingga diharapkan makin merangsang kegiatan perekonomian.
Memang, pertumbuhan kredit perbankan pada tahun depan diperkirakan bakal turun menjadi 15 hingga 17 persen dibanding 2013 yang diperkirakan sekitar 24 persen. Ini akibat makin ketatnya ekses likuiditas yang dialami perbankan sebagai buntut lebih tingginya pertumbuhan kredit dalam tiga tahun terakhir yang sekitar 24 persen dibandingkan dengan pengumpulan dana pihak ketiga (DPK) yang sekitar 19 persen.
Namun jika otoritas mengupayakan adanya sumber pendanaan baru untuk mengatasi hal tersebut antara lain dengan mengembangkan "wholesale funding" seperti pasar obligasi dan sekuritisasi, maka kekhawatiran berkurangnya sumber pendanaan bakal berkurang.
Yang patut menjadi perhatian adalah bahwa dana yang ada di sistem perbankan selama ini dipenuhi oleh dana-dana asing jangka pendek, yang memang masuk ke Indonesia hanya untuk mencari keuntungan. Indonesia memang memberikan tingkat bunga lebih tinggi dibandingkan negara lain.
Masuknya dana yang sering disebut sebagai uang panas itu rawan karena akan mengalir keluar jika kebijakan di dalam negeri tidak kondusif atau dinilai sudah tidak menguntungkan lagi.
Karena itu upaya untuk membuat agar dana-dana seperti itu "betah" di Indonesia harus dilaksanakan, termasuk menarik sejumlah dana milik orang Indonesia yang diparkir di luar negeri.
Barangkali untuk menjadi normal perlu ada pengorbanan. Namun, masa-masa pengorbanan itu harus diimbangi persiapan agar jika kondisi ekonomi eksternal dan internal sudah membaik, Indonesia telah siap untuk bersaing.
Siapkah Indonesia menghadapi ketidakpastian itu? Tahun 2014 akan membuktikannya.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2013 mencapai 5,7 persen, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi 2012 yang sebesar 6,3 persen.
Faktor eksternal yang mempengaruhi perekonomian Indonesia itu berupa ketidakpastian perekonomian global. Isu penghentian penggelontoran stimulus perekonomian AS oleh bank sentral AS, Federal Reserve, karena sejumlah indikator perekonomian menunjukkan perbaikan, menjadi salah satu penyebab ketidakpastian itu.
Banyak negara yang goyah atas kebijakan bank sentral AS itu. Indonesia menjadi salah satunya. Indonesia termasuk apa yang disebut Morgan Stanley sebagai "The Fragile Five" yakni lima negara yang paling rentan terkena kebijakan "tapering". Negara lain adalah Afrika Selatan, Brasil, India, dan Turki.
Kabar terbaru menyebutkan bahwa The Fed dalam waktu dekat bakal pasti mengurangi kucuran dana sebesar 10 miliar dolar AS ke pasar keuangan negara itu dari sebelumnya sebesar 85 miliar dolar AS per bulan.
Mengapa Indonesia rentan terhadap kebijakan AS itu?
Ternyata, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selama ini cukup tinggi yakni sekitar 6,2 persen dan dipuji dunia karena tingginya pertumbuhan itu ketika resesi dunia melanda, dibiayai oleh uang panas alias "hot money".
Uang panas yang gampang datang dan pergi itu berasal dari dana stimulus yang diluncurkan The Fed melalui kebijakan "Quantitative Easing" (QE). Dana tersebut mengalir ke Indonesia karena mampu memberi keuntungan paling besar.
Ketika isu "tapering" muncul, ekonomi Indonesia makin terpukul karena kondisi internal yang buruk berupa melemahnya ekspor Indonesia, yang selama ini didominasi ekspor sumber daya alam, dan meningkatnya impor yang didominasi jasa dan barang modal, telah menyebabkan terjadinya defisit transaksi berjalan .
Defisit ini akhirnya membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melorot. Hingga akhir tahun ini nilainya mencapai sekitar 12.200-an.
Bank Indonesia (BI) mencatat defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal III 2013 sebesar 8,4 miliar dollar AS atau 3,8 persen dari produk domestik bruto (PDB). Defisit transaksi berjalan ini menurun dibandingkan pada kuartal sebelumnya, yakni 9,9 miliar dollar AS atau 4,4 persen dari PDB.
Penurunan ini akibat peningkatan surplus neraca perdagangan non migas seiring dengan penurunan impor nonmigas yang lebih tajam dibandingkan penurunan ekspor nonmigas, serta berkurangnya defisit neraca jasa dan pendapatan.
Dengan adanya gambaran yang jelas tentang penyebab turunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, pemerintah seharusnya menunjukkan upaya untuk segera memperbaiki defisit transaksi berjalan, khususnya bila "tapering" atau pengurangan stimulus terjadi.
Selama ini memang terlihat upaya mengurangi defisit transaksi berjalan baru dilaksanakan dari sisi moneter. Belum ada kebijakan sektor ril yang mendukungnya, meski pemerintah sudah mengeluarkan sejumlah paket kebijakan untuk mengurangi defisit itu pada Agustus lalu.
Kebijakan seperti pemberian insentif bagi perusahaan-perusahaan padat karya yang berorientasi ekspor, peningkatan pajak bagi impor kendaraan mewah dan pengurangan penggunaan BBM dengan mendorong peningkatan penggunaan biodiesel, sampai akhir tahun ini belum sepenuhnya direalisasikan.
Ekonomi 2014
Perekonomian Indonesia pada 2014 bakal tetap dihadapkan pada ketidakpastian global di tengah ekonomi domestik yang diperkirakan mengalami penurunan pertumbuhan pada 2013 akibat upaya untuk mengurangi defisit transaksi berjalan.
Turunnya pertumbuhan ekonomi nasional itu sendiri sejalan dengan melemahnya perkiraan pertumbuhan ekonomi global menjadi sebesar 3,8 persen dari perkiraan sebelumnya 4 persen, yang antara lain diakibatkan melemahnya perekonomian Amerika Serikat, yang pada akhir tahun ini dilaporkan membaik, serta kawasan Eropa dan perekonomian India dan China.
Pelaksanaan pemilu anggota legislatif dan presiden pada tahun depan diperkirakan juga akan mewarnai perekonomian pada tahun depan itu.
Pemilu itu sendiri dimaknai beragam. Ada yang berpendapat pada tahun itu ketidakpastian berusaha akan meningkat karena terkadang pemilu diwarnai dengan tindakan anarkistis. Namun ada juga yang menilai kegiatan lima tahunan itu akan menumbuhkan optimisme karena Indonesia akan memiliki pemimpin baru.
Mungkin calon-calon pemimpin baru yang memiliki kebijakan untuk mengatasi masalah internal agar defisit transaksi berjalan berkurang, bahkan kalau bisa surplus, perlu dipertimbangkan untuk diberi kesempatan memimpin.
Kegiatan ekonomi nasional pada tahun depan sebenarnya masih sangat besar. Pemerintah masih terus melaksanakan pembangunan, antara lain di sektor infrastruktur yang membutuhkan permodalan dan pastinya bakal meningkatkan jumlah pekerjaan.
Jika pembangunan sektor infrastruktur berjalan lancar, maka itu akan berdampak pada peningkatan kegiatan lainnya seperti investasi, transportasi dan konsumsi.
Di pasar modal, sudah ada sejumlah emiten yang menyatakan bakal melepas saham perdananya atau IPO. Dengan makin meningkatnya jumlah emiten di bursa, maka kapitalisasi pasar di bursa nasional akan makin besar sehingga diharapkan makin merangsang kegiatan perekonomian.
Memang, pertumbuhan kredit perbankan pada tahun depan diperkirakan bakal turun menjadi 15 hingga 17 persen dibanding 2013 yang diperkirakan sekitar 24 persen. Ini akibat makin ketatnya ekses likuiditas yang dialami perbankan sebagai buntut lebih tingginya pertumbuhan kredit dalam tiga tahun terakhir yang sekitar 24 persen dibandingkan dengan pengumpulan dana pihak ketiga (DPK) yang sekitar 19 persen.
Namun jika otoritas mengupayakan adanya sumber pendanaan baru untuk mengatasi hal tersebut antara lain dengan mengembangkan "wholesale funding" seperti pasar obligasi dan sekuritisasi, maka kekhawatiran berkurangnya sumber pendanaan bakal berkurang.
Yang patut menjadi perhatian adalah bahwa dana yang ada di sistem perbankan selama ini dipenuhi oleh dana-dana asing jangka pendek, yang memang masuk ke Indonesia hanya untuk mencari keuntungan. Indonesia memang memberikan tingkat bunga lebih tinggi dibandingkan negara lain.
Masuknya dana yang sering disebut sebagai uang panas itu rawan karena akan mengalir keluar jika kebijakan di dalam negeri tidak kondusif atau dinilai sudah tidak menguntungkan lagi.
Karena itu upaya untuk membuat agar dana-dana seperti itu "betah" di Indonesia harus dilaksanakan, termasuk menarik sejumlah dana milik orang Indonesia yang diparkir di luar negeri.
Barangkali untuk menjadi normal perlu ada pengorbanan. Namun, masa-masa pengorbanan itu harus diimbangi persiapan agar jika kondisi ekonomi eksternal dan internal sudah membaik, Indonesia telah siap untuk bersaing.
Siapkah Indonesia menghadapi ketidakpastian itu? Tahun 2014 akan membuktikannya.
(A023)
Oleh Ahmad Buchori
Editor: Ella Syafputri
COPYRIGHT © 2013
Editor: Ella Syafputri
COPYRIGHT © 2013