PAGI
itu, matahari di Brayeung baru saja sepenggalahan beranjak naik. Hawa dingin
kaki bukit Leupung, berhembus perlahan. Gemercik air sungai terdengar
bersahut-sahutan dengan candatawa bocah-bocah kecil yang asyik bermain air di
tangga-tangga irigasi.
Pemilik
perahu karet, sibuk mengatur perahu-perahu sewaannya agar tidak dihanyutkan air
yang terkadang riaknya membesar. Di tepi sungai, kiri-kanan jalan - penjual gorengan menyapa setiap pengunjung
yang melintas di depan warung mereka, agar mau singgah membeli menu yang ditawarkannya.
Sungai
yang membelah Brayeung airnya jernih. Siapa saja yang datang ke sana, pasti ingin
segera menceburkan diri dan bermalas-malasan dari siraman air yang meluncur deras
dari anak tangga irigasi yang merentangi sungai hampir seratus meter.
Sebagian
lainnya, asyik menghabiskan waktu mendayung pelahu karet sambil siram menyiram air sesama mereka. Kadang tanpa terasa waktu telah beranjak jauh dan
matahari telah condong ke barat.
Bagi
yang sudah lama berendam – mereka memilih naik ke daratan untuk menghangatkan
badan dengan secangkir kopi kampung, di warung-warung kecil yang menghadap ke
sungai. Dibawah sana air terus mengalir deras di sela-sela bebatuan menuju
laut.
Potret
suasana alam yang masih perawan itu membekas dalam ingatan antaraaceh, meski perjalanan ke sana sudah kami lewati dua pekan lalu. Wisata alam yang berpotensi itu,
kini menunggu kepedulian pemda atau donator untuk mendandaninya, sehingga Brayeung suatu saat nanti akan menjadi kawasan wisata yang menjanjikan bagi Aceh
Besar.
Meski
belum dipoles untuk diperindah, Brayeung yang diapit dua desa - Meunasah Masjid dan Meunasah Bak U,
Kecamatan Leupung Aceh Besar, sekitar 25 Km dari Kota Banda Aceh setiap hari libur ramai dikunjungi wisata lokal dari
berbagai kota dan kabupaten di Aceh.
“Pada
hari libur penggunjungnya bisa mencapai 1.000 orang bahkan lebih. Saya tak
pernah membayangkan Brayeung jadi seperti ini,”kata Ilyas Ramli CR pengelola
Brayeung.
Kekayaan
wisata alam Brayeung, belum mendapat respon
positif dari Pemkab Aceh Besar maupun Pemerintah Aceh untuk dikembangkan.
Padahal, keberadaan Brayeung sangat penting untuk menggerakkan perekonomian rakyat dan
meningkatkan PAD.
Sekitar
dua puluhan kepala keluarga Leupung dan sekitarnya yang berjualan di sana,
secara perlahan pendapatnya mereka terus meningkat setiap bulannya. Bahkan
tahun 2013 ini penghasilan mereka ada yang mencapai Rp 1,5 juta perminggu.
“Ketika
di buka tahun 2009 lalu, penghasilan mereka hanya Rp 150 ribu perminggu. Sekarang
malah ada yang sudah berpenghasilan Rp 1,5 juta setiap hari libur, ”tambah
Ilyas senang.
Camat
Kecamatan Leupung, Hasri Yulian, S.Sos sangat berharap pemda atau investor dapat
mengembangkan potensi Brayeung menjadi salah satu daerah tujuan wisata Aceh di masa
mendatang
.
Kini, Brayeung membutuhkan satu unit jembatan
gantung untuk mengantisipasi banjir bila musim hujan tiba. Wisatawan yang memanfaatkan waktu di seberang sungai
tidak was-was, takut tak bisa pulang tertahan banjir. Begitu juga petani, kapan saja bisa pulang-pergi ke kebunnya,
tanpa halangan apapun.
Selain
jembatan gantung , pemda perlu juga segera melakukan pelebaran badan jalan
menuju ke sana, sehingga memudahkan pengunjung yang menggunakan kenderaan roda
empat keluar masuk dari jalan raya Banda Aceh – Calang menuju ke lokasi wisata yang
jaraknya mencapai dua kilometer.
“Jalan
ke sana sempit, bila ada dua mobil berpapasan salah satunya harus mengalah memberi
kesempatan kepada yang lain. Kadang-kadang hari libur jalan macet, karena
banyaknya pengunjung yang datang. Kami
bermohon kepada pemda, jalan ke Brayeung bisa dilebarkan tahun depan,” ungkap
Camat Hasri penuh harap.
Masyarakat
Leupung sangat mendambakan Brayeung bisa
menjadi salah satu objek wisata andalan di Aceh Besar. Pengembangan wisata di sana,
sebuah impian yang sangat berarti bagi warga yang menggantungkan hidup mereka sebagai
pedagang kecil, juru parkir atau mereka yang berkebun di kaki-kaki bukit nun jauh
di lembah sana. (Helmi hass)