Banda Aceh, 29/11 (Antara) - Pengamat lingkungan Universitas Serambi Mekah Banda Aceh TM Zulfikar, menyatakan pemerintah harus menghentikan aksi perambahan hutan sepanjang Kawasan Ekosistem Leuser yang membentang dari wilayah Provinsi Aceh hingga Sumatera Utara.
"Berbagai aksi perambahan dan perusakan hutan dalam KEL di Aceh dan Sumatera dikhawatirkan banyak pihak, baik lokal, nasional maupun internasional. Pemerintah harus menghentikan ancaman deforestasi KEL yang semakin meningkat," katanya di Banda Aceh, Jumat.
Zulfikar menyebutkan data terakhir diperoleh dari Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) beberapa waktu lalu atau sebelum lembaga ini dibubarkan disebutkan kerusakan hutan di KEL sepanjang ima tahun (2005-2009) mencapai 36.000 hektare.
Data yang diambil melalui metode penginderaan jarak jauh, yaitu interpretasi citra satelit, yakni LANDSAT (USGS/NASA) tersebut menunjukkan pada awal tahun 2005 luas tutupan hutan di KEL sebesar 1.982.000 hektare, dan akhir tahun 2009 mengalami deforestasi sehingga luasnya berkurang menjadi 1.946.000 hektare.
Diyakini bahwa proses deforestasi itu akan terus terjadi hingga saat ini, apalagi jika tidak ada penanganan yang serius oleh institusi terkait terutama yang bertanggungjawab atas perlindungan dan pengelolaan hutan di Aceh termasuk KEL.
"Leuser telah ditetapkan sebagai ‘paru-paru’ dunia. Oleh karenanya upaya penyelamatan KEL sebagai paru-paru dunia seharusnya tidak hanya menjadi tanggungjawab rakyat Aceh, tapi juga masyarakat internasional termasuk dalam melestarikan kawasan tersebut," katanya menjelaskan.
Dipihak lain, TM Zulfikar mengatakan karena sebagian besar wilayah KEL itu berada di Aceh maka sepantasnya pemerintah dan rakyat provinsi ini memiliki kepentingan untuk melindungi hutan sebagai infrastruktur ekologi.
"Sebagai infrastruktur ekologi maka kawasan hutan menyediakan jasa lingkungan bagi masyarakat berupa air untuk kebutuhan domestik dan pertanian, pencegahan bencana, perlindungan keaneka ragaman hayati dan potensi energi yang luar biasa, disamping fungsi hutan produksi sebagai penghasil kayu," kata dia menjelaskan.
Bahkan, dia menjelaskan Gubernur Aceh sebelumnya yakni Irwandi Yusuf telah memberlakukan "Moratorium Logging" atau penghentian sementara penebangan hutan dalam wilayah Provinsi Aceh pada 6 Juni 2007.
Moratorium hutan harus berbasiskan hasil capaian, transparansi dalam proses dan pelibatan publik lebih luas dan efektif menjadi satu keharusan, sehingga pencapaian komitmen dan penurunan emisi gas rumah kaca dan penyelamatan hutan alam secara umum di Indonesia dan khususnya di Aceh dapat dilaksanakan dengan baik, kata dia.
Selain itu juga, TM Zulfikar berpendapat seluruh kegiatan pengelolaan hutan di Aceh seharusnya mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat di provinsi berpenduduk sekitar lima juta jiwa tersebut.
"Karenanya mari kita berikan waktu kepada hutan kita untuk bisa bernafas lebih lama dari tekanan dan jangkauan tangan-tangan jahil perusak hutan, serta berikan kesempatan kepada generasi mendatang untuk juga dapat ikutserta menikmatinya," kata mantan direktur eksekutif Walhi Aceh itu. (Azhari)
"Berbagai aksi perambahan dan perusakan hutan dalam KEL di Aceh dan Sumatera dikhawatirkan banyak pihak, baik lokal, nasional maupun internasional. Pemerintah harus menghentikan ancaman deforestasi KEL yang semakin meningkat," katanya di Banda Aceh, Jumat.
Zulfikar menyebutkan data terakhir diperoleh dari Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) beberapa waktu lalu atau sebelum lembaga ini dibubarkan disebutkan kerusakan hutan di KEL sepanjang ima tahun (2005-2009) mencapai 36.000 hektare.
Data yang diambil melalui metode penginderaan jarak jauh, yaitu interpretasi citra satelit, yakni LANDSAT (USGS/NASA) tersebut menunjukkan pada awal tahun 2005 luas tutupan hutan di KEL sebesar 1.982.000 hektare, dan akhir tahun 2009 mengalami deforestasi sehingga luasnya berkurang menjadi 1.946.000 hektare.
Diyakini bahwa proses deforestasi itu akan terus terjadi hingga saat ini, apalagi jika tidak ada penanganan yang serius oleh institusi terkait terutama yang bertanggungjawab atas perlindungan dan pengelolaan hutan di Aceh termasuk KEL.
"Leuser telah ditetapkan sebagai ‘paru-paru’ dunia. Oleh karenanya upaya penyelamatan KEL sebagai paru-paru dunia seharusnya tidak hanya menjadi tanggungjawab rakyat Aceh, tapi juga masyarakat internasional termasuk dalam melestarikan kawasan tersebut," katanya menjelaskan.
Dipihak lain, TM Zulfikar mengatakan karena sebagian besar wilayah KEL itu berada di Aceh maka sepantasnya pemerintah dan rakyat provinsi ini memiliki kepentingan untuk melindungi hutan sebagai infrastruktur ekologi.
"Sebagai infrastruktur ekologi maka kawasan hutan menyediakan jasa lingkungan bagi masyarakat berupa air untuk kebutuhan domestik dan pertanian, pencegahan bencana, perlindungan keaneka ragaman hayati dan potensi energi yang luar biasa, disamping fungsi hutan produksi sebagai penghasil kayu," kata dia menjelaskan.
Bahkan, dia menjelaskan Gubernur Aceh sebelumnya yakni Irwandi Yusuf telah memberlakukan "Moratorium Logging" atau penghentian sementara penebangan hutan dalam wilayah Provinsi Aceh pada 6 Juni 2007.
Moratorium hutan harus berbasiskan hasil capaian, transparansi dalam proses dan pelibatan publik lebih luas dan efektif menjadi satu keharusan, sehingga pencapaian komitmen dan penurunan emisi gas rumah kaca dan penyelamatan hutan alam secara umum di Indonesia dan khususnya di Aceh dapat dilaksanakan dengan baik, kata dia.
Selain itu juga, TM Zulfikar berpendapat seluruh kegiatan pengelolaan hutan di Aceh seharusnya mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat di provinsi berpenduduk sekitar lima juta jiwa tersebut.
"Karenanya mari kita berikan waktu kepada hutan kita untuk bisa bernafas lebih lama dari tekanan dan jangkauan tangan-tangan jahil perusak hutan, serta berikan kesempatan kepada generasi mendatang untuk juga dapat ikutserta menikmatinya," kata mantan direktur eksekutif Walhi Aceh itu. (Azhari)