Foto : Antaraaceh.com/Ampelsa |
Sebanyat 35 orang delegasi kedua negara itu melakukan pertemuan dengan Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al-Haytar di Banda Aceh, Rabu.
Gubernur Zaini Abdullah, mengharapkan perdamaian Aceh bisa menjadi pembelajaran bagi penyelesain konflik secara menyeluruh terutama di kawasan Asean seperti Thailand dan Filipina.
Menurut gubernur, perdamaian untuk mengakhiri konflik bersenjata di Aceh melalui perjanjian di Helsinki 15 Agustus 2005 telah membawa wajah baru situasi di provinsi ujung paling barat Indonesia itu.
"Perdamaian Helsinki membawa wajah baru setelah 32 tahun konflik. Damai Aceh berubah total dan semangat demokrasi sejalan dengan pembangunan di berbagai sektor. Pascaperdamaian atau sejak tahun 2007 pertumbuhan ekonomi Aceh rata-rata 5,7 persen/tahun," kata Zaini Abdullah menyebutkan.
Delegasi Filipina yang ikut dalam pertemuan dengan Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan Wali Nanggroe ke-9 Malik Mahmud Al-Haytar yakni unsur pemerintah dan utusan The Moro National Liberation Front (MNLF). Sementara delegasi Thailand juga dari unsur pemerintah serta elemen masyarakat Pattani.
Konflik Aceh berakhir setelah pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Pusat menandatangani nota kesepahaman damai (MoU) di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2015 atau setelah bencana tsunami meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004.
Zaini Abdullah yang juga mantan petinggi GAM di luar negeri itu menjelaskan selama konflik, pertumbuhan ekonomi Aceh 0 persen dan investasi tidak ada karena situasi sehari-hari mencekam.
"Namun situasi Aceh hari ini lebih baik, aman dan damai serta terus membangun. Kalau saat ini ada demontrasi itu biasa terjadi, tidak hanya di Aceh tapi juga di daerah lain di Indonesia ini. Demonstrasi itu juga sebagai tolok ukur kebebasan dalam mengeluarkan pendapat," kata Gubernur Zaini Abdullah. (Azhari)